Rabu, 04 April 2012

Suluk


Suluk adalah bukti akhlaq, simbol  dan alamat akhlaq. Jika suluknya baik maka hal itu menunjukkan bahwa akhlaqnya baik dan jika suluknya jelek berarti akhlaqnya adalah jelek. Sebagaimana pohon itu diketahui lewat buahnya, begitupula akhlaq yang baik diketahui melalui tindakan-tindakan dan perilakunya yang baik. (Dr. Mahmud Hamdi zaqauz, Mukaddimah fi ‘Ilmi al-Akhlaq, h. 43).

Sedangkan hikmah itu sendiri terbagi menjadi beberapa cabang, salah satunya adalah suluk yang bijak, mempertahankan akhlaq yang utama dan menjahui akhlaq yang tercela secara lahir maupun batin. Inilah yang disebut suluk akhlaqi hakim atau perilaku moral yang bijak (al-Maidani, al-Akhlaq al-Islamiyah wa Ushuluha, 1/13)
Diantara yang menjelaskan bahwa untuk menggapai hikmah adalah sikap istiqamah mengikuti “Suluk Hakim” -kemudian taufiq dari Allah I- adalah kisah seorang laki-laki yang berdiri dihadapan Luqman, lalu berkata kepadanya: “Anda Luqman, anda budak dari Bani al-Nahhas?” Dia menjawab: “Ya”. Orang tadi bertanya: “Anda yang dulu penggembala kambing yang (berkulit) hitam itu?” Dia menjawab: “Adapun kulitku hitam itu sudah jelas. Lalu apa yang membuatmu heran?” Dia menjelaskan: “Ramainya orang-orang mengunjungi anda, mendatangi rumah anda dan ridha mereka terhadap ucapan anda.” Dia menjawab: “Wahai putra saudaraku, jika engkau melaksanakan apa yang saya katakan kepadamu maka kamupun akan begitu.” Orang tadi bertanya heran: “Apa itu?” Luqman berkata: “Aku memejamkan pandanganku mempersiapkan bekalku, memenuhi janjiku, memuliakan tamuku, menjaga tetangaku dan aku meninggalkan semua yang tidak penting bagiku, maka itulah yang menjadikan aku seperti yang engkau lihat sekarang”. [Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Niyahah 2/224, sanadnya dinisbatkan kepada Ibn Wahb]
Orang lain bertanya kepadanya tentang sebab yang mengantarkannya ke derajat hikmah, maka dia menjawab: “Takdir Allah, kemudian menunaikan amanah, jujur ucapan dan meninggalkan segala yang tidak berguna bagiku”. [ibid, 2/224, dinisbatkan kepada Ibn Abi Hatim]
Yang lain bertanya, dia menjawab: “Jujur ucapan, dan diam dari segala yang tidak berguna bagi saya”. [Tafsir Ibn Jarir, 21/44]
Suluk berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan. Suluk merupakan aktivitas rutin dalam memakmurkan lahir dan batin. Segenap kesibukan hamba hanya ditujukan kepada Sang Rabb. Bahkan ia selalu disibukkan dengan usaha-usaha menjernihkan hati sebagai persiapan untuk sampai kepada-Nya (wusul).
Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang salik (pelaku suluk); Pertama, mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran. Dan kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya, maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang diri dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah orang-orang lemah.
Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara. Sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung kesedihan (karena kehinaan dirinya di hadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berdzikir.
Dengan kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara', meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan perintah-Nya. (Mi'raj As-Salikin karya Imam Al-Ghazali)
Makna lateral suluk adalah menempuh jalan, yang merupakan suatu tindakan fisik dan bisa dipandang sebagai gerakan dalam dimensi ruang. Hanya saja dalam istilah teknis, yang dimaksud suluk adalah “perjalanan spiritual” dan bukan gerakan dalam dimensi ruang.
Suluk nafs, hawa- nafsu, disebut tazkiyah an-nafs atau “penyucian jiwa”. Ini berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti, sesudah membersihkannya dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari kotoran dan kerusakannya, diubah menjadi an-nafs al-lawwamah( jiwa yang tercela ) dan akhirnya menjadi an-nafs al-muthma’innah atau “jiwa yang tenang”. Dengan demikian, suluk bukanlah gerakan dalam dimensi ruang, melainkan kemajuan dalam kehidupan spiritual, yakni gerak maju dan sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat baik dan terpuji; gerak maju ini adalah nama lain bagi transmutasi atau perubahan normal manusia batiniah.
Suluk qalb (kalbu atau hati ) diistilahkan sebagai tashfiyah al-qalb atau “penyucian kalbu”. Yang dimaksud dengan menyucikan  kalbu ialah menghapuskan darinya kecintaan pada dunia fana ini, kekawatirannya atas berbagai macam kesedihan dan kedukaan, kencenderungannya pada hal-hal duniawi serta segenap pikiran muluk-muluknya yang sia-sia.
Suluk sirr ( secara harfiah berarti “rahasia”, yakni sebuah organ pemahaman spiritual ) disebut takhalliyah as-sirr atau “pengosongan sirr”. Ini berarti mengosongkan sirr dari segala macam pikiran yang bakal menyimpangkannya dari ingat kepada Allah atau zikir. Fakultas atau kemampuan mestilah dijaga sedemikian rupa sehingga pikiran tentang sesuatu selain Allah tidak akan memasukinya. Jika mendadak sontak muncul sesuatu kepermukaan, maka hal itu harus segera dihapus.
Suluk ruh ( “jiwa” , sebuah organ kontemplasi mistis ) diungkapkan dengan tajalliyah ar-ruh atau pencerahan ruh. Ini berarti mengisa jiwa dengan visi tentang Allah dan gelora cinta-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar