Suluk adalah
bukti akhlaq, simbol dan alamat akhlaq.
Jika suluknya baik maka hal itu menunjukkan bahwa akhlaqnya baik dan jika
suluknya jelek berarti akhlaqnya adalah jelek. Sebagaimana pohon itu diketahui
lewat buahnya, begitupula akhlaq yang baik diketahui melalui tindakan-tindakan
dan perilakunya yang baik. (Dr. Mahmud Hamdi zaqauz, Mukaddimah fi ‘Ilmi
al-Akhlaq, h. 43).
Sedangkan
hikmah itu sendiri terbagi menjadi beberapa cabang, salah satunya adalah suluk
yang bijak, mempertahankan akhlaq yang utama dan menjahui akhlaq yang tercela
secara lahir maupun batin. Inilah yang disebut suluk akhlaqi hakim atau
perilaku moral yang bijak (al-Maidani, al-Akhlaq al-Islamiyah wa Ushuluha, 1/13)
Diantara yang
menjelaskan bahwa untuk menggapai hikmah adalah sikap istiqamah mengikuti
“Suluk Hakim” -kemudian taufiq dari Allah I- adalah kisah seorang laki-laki
yang berdiri dihadapan Luqman, lalu berkata kepadanya: “Anda Luqman, anda budak
dari Bani al-Nahhas?” Dia menjawab: “Ya”. Orang tadi bertanya: “Anda yang dulu
penggembala kambing yang (berkulit) hitam itu?” Dia menjawab: “Adapun kulitku
hitam itu sudah jelas. Lalu apa yang membuatmu heran?” Dia menjelaskan:
“Ramainya orang-orang mengunjungi anda, mendatangi rumah anda dan ridha mereka
terhadap ucapan anda.” Dia menjawab: “Wahai putra saudaraku, jika engkau
melaksanakan apa yang saya katakan kepadamu maka kamupun akan begitu.” Orang
tadi bertanya heran: “Apa itu?” Luqman berkata: “Aku memejamkan pandanganku
mempersiapkan bekalku, memenuhi janjiku, memuliakan tamuku, menjaga tetangaku
dan aku meninggalkan semua yang tidak penting bagiku, maka itulah yang
menjadikan aku seperti yang engkau lihat sekarang”. [Ibn Katsir, al-Bidayah wa
al-Niyahah 2/224, sanadnya dinisbatkan kepada Ibn Wahb]
Orang lain
bertanya kepadanya tentang sebab yang mengantarkannya ke derajat hikmah, maka
dia menjawab: “Takdir Allah, kemudian menunaikan amanah, jujur ucapan dan
meninggalkan segala yang tidak berguna bagiku”. [ibid, 2/224, dinisbatkan
kepada Ibn Abi Hatim]
Yang lain
bertanya, dia menjawab: “Jujur ucapan, dan diam dari segala yang tidak berguna
bagi saya”. [Tafsir Ibn Jarir, 21/44]
Suluk berarti
memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan. Suluk
merupakan aktivitas rutin dalam memakmurkan lahir dan batin. Segenap kesibukan
hamba hanya ditujukan kepada Sang Rabb. Bahkan ia selalu disibukkan dengan
usaha-usaha menjernihkan hati sebagai persiapan untuk sampai kepada-Nya
(wusul).
Ada dua
perkara yang dapat merusak usaha seorang salik (pelaku suluk); Pertama,
mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam
penafsiran. Dan kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan
hawa nafsunya. Barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya, maka ia termasuk orang
bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang diri dengan waktu maka ia termasuk
orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah orang-orang lemah.
Keinginan
seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia
menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia
selalu puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara. Sebab terlalu
berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati.
Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan
matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung kesedihan (karena
kehinaan dirinya di hadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berdzikir.
Dengan kata
simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan
suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah SWT
dan Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya
dengan sifat wara', meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal
yang berkaitan erat dengan perintah-Nya. (Mi'raj As-Salikin karya Imam
Al-Ghazali)
Makna lateral
suluk adalah menempuh jalan, yang merupakan suatu tindakan fisik dan bisa
dipandang sebagai gerakan dalam dimensi ruang. Hanya saja dalam istilah teknis,
yang dimaksud suluk adalah “perjalanan spiritual” dan bukan gerakan dalam
dimensi ruang.
Suluk nafs,
hawa- nafsu, disebut tazkiyah an-nafs atau “penyucian jiwa”. Ini berarti
menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti, sesudah membersihkannya
dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari
kotoran dan kerusakannya, diubah menjadi an-nafs al-lawwamah( jiwa yang tercela
) dan akhirnya menjadi an-nafs al-muthma’innah atau “jiwa yang tenang”. Dengan
demikian, suluk bukanlah gerakan dalam dimensi ruang, melainkan kemajuan dalam
kehidupan spiritual, yakni gerak maju dan sifat-sifat tercela menuju
sifat-sifat baik dan terpuji; gerak maju ini adalah nama lain bagi transmutasi
atau perubahan normal manusia batiniah.
Suluk qalb
(kalbu atau hati ) diistilahkan sebagai tashfiyah al-qalb atau “penyucian
kalbu”. Yang dimaksud dengan menyucikan
kalbu ialah menghapuskan darinya kecintaan pada dunia fana ini,
kekawatirannya atas berbagai macam kesedihan dan kedukaan, kencenderungannya
pada hal-hal duniawi serta segenap pikiran muluk-muluknya yang sia-sia.
Suluk sirr (
secara harfiah berarti “rahasia”, yakni sebuah organ pemahaman spiritual )
disebut takhalliyah as-sirr atau “pengosongan sirr”. Ini berarti mengosongkan
sirr dari segala macam pikiran yang bakal menyimpangkannya dari ingat kepada
Allah atau zikir. Fakultas atau kemampuan mestilah dijaga sedemikian rupa
sehingga pikiran tentang sesuatu selain Allah tidak akan memasukinya. Jika
mendadak sontak muncul sesuatu kepermukaan, maka hal itu harus segera dihapus.
Suluk ruh (
“jiwa” , sebuah organ kontemplasi mistis ) diungkapkan dengan tajalliyah ar-ruh
atau pencerahan ruh. Ini berarti mengisa jiwa dengan visi tentang Allah dan
gelora cinta-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar