Kamis, 05 April 2012

Ma’rifatul Ghaib


Secara bahasa, kata ghaib (غَيْبٌ) berarti ‘ter tutupnya sesuatu dari pandangan mata’. Karena itu, matahari ketika terbenam atau seseorang yang tidak berada di tempat juga disebut ghaib (غَيْبٌ). Secara singkat dapat dikata kan bahwa ghaib (غَيْبٌ) adalah lawan “nyata”.
 Ghaib (غَيْبٌ) secara terminologis berarti ‘sesuatu yang tidak bisa dijangkau manusia’, kecuali bila diinformasikan oleh Allah dan rasul, atau sesuatu yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.

 Ghaib (غَيْبٌ) di dalam pengertian pertama disebut ghaib nisbi (غَيْبٌ نِسْبِيٌّ = gaib relatif). Ghaib (غَيْبٌ) di dalam pengertian kedua disebut ghaib muthlaq (غَيْبٌ مُطْلَقٌ = gaib mutlak). Termasuk kepada gaib mutlak ini Tuhan, para malaikat, arwah manusia yang telah berpisah dari kehidupan yang bersifat jasmani, dan lain-lain.
 Kata lain yang seakar dengan kata ghaib (غَيْبٌ) ialah ghîbah (غِيْبَةٌ), yang berarti ‘gunjing’, yaitu menyebut aib orang lain di belakangnya. Ghayâbun (غَيَابٌ) berarti ‘kubur’. Ghâbah (غَابَةٌ) berarti ‘rimba atau hutan’. Ghayâbah (غَيَابَةٌ) berarti ‘dasar’, seperti dasar telaga dan sumur.
 Kata ghaib (غَيْبٌ) di dalam bentuk mufrad (tunggal) diulang sebanyak 49 kali di dalam Al-Qur’an, antara lain di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 3 dan 33, QS. آli ‘Imrân [3]: 44 dan 179, serta QS. An-Nisâ’ [4]: 34. Di dalam bentuk jamak (plural) ghuyûb (غُيُوْبٌ) diulang empat kali, yaitu di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 109 dan 116, QS. At-Taubah [9]: 78, serta QS. Sabâ’ [34]: 48. Di dalam bentuk ism fâ‘il (ghaibîn [غَائِبِيْنَ]) diulang tiga kali, yaitu di dalam QS. Al-A‘râf [7]: 7 serta QS. An-Naml [27]: 20 dan QS. Al-Infithâr [82]: 75. Kata ghayâbah (غَيَابَةٌ) diulang dua kali, yaitu di dalam QS. Yûsuf [12]: 10 dan 15.
 Kata ghaib (غَيْبٌ) di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 3 disebut di dalam konteks pembicara an mengenai ciri-ciri orang muttaqîn (مُتَّقِيْنَ), yang antara lain beriman atau percaya kepada yang gaib. Al-Qurthubi di dalam tafsirnya, menge muka kan bahwa telah timbul perbedaan penda pat di dalam menakwilkan kata ghaib (غَيْبٌ). Menurut satu pendapat, ghaib (غَيْبٌ) ialah Allah swt. Ada yang mengatakan, qadhâ’ (قَضَاءٌ) dan qadar (قَدَرٌ). Sebagian lagi mengatakan, ghaib (غَيْبٌ) di sini ialah Al-Qur’an dan apa yang terdapat di dalamnya mengenai ghaib (غَيْبٌ). Ada lagi yang berpendapat, ghaib (غَيْبٌ) ialah setiap apa yang diinformasikan oleh rasul Allah swt, namun tidak terjangkau oleh pancaindra ma nusia, seperti tanda-tanda kiamat, azab kubur, berhimpun (di padang mahsyar), berbangkit, titian shirâthal mustaqîm, mîzân (timbangan amal), serta surga dan neraka. Menurut penilian Ibnu Atiyah, pendapat-pendapat tersebut di atas sebenarnya tidak bertentangan karena kata ghaib (غَيْبٌ) boleh jadi mencakup semua itu.
 Kata ghaib (غَيْبٌ) dikaitkan dengan ilmu Allah yang mengetahui apa yang gaib dan apa yang nyata. Ini disebutkan antara lain di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 33 QS. Al-An‘âm [6]: 59 dan 73, QS. At-Taubah [9]: 94 dan 105, QS. Yûnus [10]: 20, serta QS. Hûd [11]: 123.
 Kata ghaib (غَيْبٌ) juga dihubungkan dengan pernyataan Nabi, bahwa beliau tidak dapat mengetahui hal-hal gaib, seperti tersebut di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 50, QS. Al-A‘râf [7]: 188, QS. Hûd [11]: 31, dan QS. Yûsuf [12]: 81.
 Kata ghaib (غَيْبٌ) di dalam QS. Yûsuf [12]: 52 diartikan sebagai ‘belakang’, yaitu sesuai dengan konteksnya bahwa Yusuf tidak ber khianat kepada raja Mesir (‘Aziz) di belakang nya (maksudnya waktu raja sedang keluar atau tidak berada di rumah), demikian juga pada QS. An-Nisâ’ [4]: 34 yang menguraikan sifat perempuan-perempuan yang saleh/taat.
 Kata ghaib (غَيْبٌ) di dalam QS. Fathir [35]: 18 diartikan sebagai ‘sendirian’ atau ‘di tempat yang tersembunyi’. Ada mufasir memahaminya bahwa mereka takut kepada Allah meskipun mereka tidak melihat-Nya. Pengertian seperti ini juga terdapat di dalam QS. Yâsîn [36]: 11, QS. Qâf [50]: 33, QS. Al-Hadîd [57]: 25, dan QS. Al-Mulk [67]: 12. [Hasan Zaini,psq.or.id] Menurut Imam Qotadah dan Abul Aliyah, ghaib adalah Allah, Para malaikat, Kitab-kitabnya, Rasul-rasulnya, hari akhir, surga, neraka, pertemuan dengan Allah, hidup setelah kematian. Itu semua adalah ghaib, hal yang tidak dapat kita ketahui. Sedangkan yang lain mengatakan takdir juga termasuk hal ghaib. Mempercayai hal yang ghaib bukanlah hal yang berkaitan dengan syirik karena pendapat semacam ini tidak berdasar.
Allah SWT berfirman “ (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka” . “Artinya : Katakanlah : “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” [An-Naml : 65]
“Artinya : (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridahiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya” [Al-Jin : 26-27]
“Artinya : Katakanlah : “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku” [Al-An’am : 50]
Beberapa ulama menggabungkan antara ghaib dengan dhalal. Abu Amru seperti dikutip al-Azhari dan Ibn Manzhur, Abu Manshur yang dikutip Ibn Manzhur, dan Ibn al-‘Arabi yang dikutip al-Qurthubi, menyatakan bahwa asal dari dhalâl adalah al-ghaybûbah (tersembunyi/gaib).2 Menurut al-Alusi dan Abu Hilal al-‘Askari, asal dari dhalâl adalah al-halâk (rusak).3 Kemudian al-Baghawi menggabungkan keduanya bahwa asal dari dhalâl adalah al-halâk wa al-ghaybûbah (rusak dan tersembunyi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar