Ghaib ada dua. Yang pertama Ghaib secara zat dan wujudnya. Yaitu Allah, Malaikat,
Surga, Neraka, Jin, dsb.Dan Ghaib secara 'amaly, yaitu ajal, rezki, dll
a.
Melihat Allah (ziyadah)
“bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang
terbaik (surga) dan tambahannya dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan
tidak (pula) kehinaan. mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di
dalamnya”. (QS. Yunus 26)
Makna Ziyadah (tambahan) dalam ayat ini adalah melihat
Allah Ta’ala di surga. Hal ini disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. (HR. Muslim No. 181, At Tirmidzi No. 2552, 3105, Ibnu Majah No. 187,
Ahmad No. 23925)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskannya
dalam Al Aqidah Al Wasithiyah [Lihat Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh
Shalih Al Fauzan, hlm. 140, terbitan Maktabah Al Ma’arif Li An Nasyr Wat
Tauzi’- Riyadh, Cet. VI-1413 H/1993 M.]. Dan ini merupakan kesepakatan Salafush
Shalih Radhiyallahu 'anhum.
Imam Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah
Thahawiyah, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari
akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam
kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para
ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal
Jama’ah. [Lihat Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah, tahqiq: Jama’ah minal Ulama
dengan takhrij dari Syaikh Al Albani rahimahullah, hlm. 189, Al Maktab Al
Islami, Cet. IX 1408 H/1988 M]
Mengapa demikian? Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, salah
seorang ulama senior di Saudi Arabia, menjelaskan [Lihat Syarh Al Aqidah Al
Wasithiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan, hlm. 140.] : “Sebab Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah memberitakan hal tersebut dalam KitabNya ; Al Qur’an Al Karim.
Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah memberitakannya
dalam Sunnahnya. Barangsiapa yang tidak mengimani kejadian ini, berarti ia
mendustakan Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Sebab orang yang beriman
kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya, akan beriman pula kepada
segala yang diberitakannya”.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : Wajah-wajah (orang-orang
mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.. [Al
Qiyamah : 22-23].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah [Tafsir Ibnu Katsir, juz IV]
menerangkan maksudnya, yaitu mereka melihat Allah dengan mata kepala mereka
sendiri. Imam Ibnu Abi Al Izz rahimahullah mengatakan: “Ayat di atas termasuk
salah satu dalil yang paling nyata”. Selanjutnya, setelah beliau mengemukakan
akibat rusaknya tahrif (ta’wil), beliau mengatakan: “Dihubungkannya kata-kata
nazhar (nazhirah, memandang) dengan wajah (wujuh) yang merupakan letak
pandangan. Ditambah dengan idiom “ilaa” yang secara tegas menunjukkan pandangan
mata, disamping tidak adanya qarinah yang menunjukkan makna lain, maka jelas
dengan ayat itu, Allah memaksudkannya sebagai pandangan mata yang ada di wajah
manusia, memandang Allah Azza wa Jalla“ [Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah, hlm.
189]
hadits Abu Hurairah berikut: Sesungguhnya orang-orang (para
sahabat) bertanya,”Wahai, Rasulullah. Apakah kami akan melihat Rabb kami pada
hari kiamat nanti?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam balik
bertanya,”Apakah kalian akan mengalami bahaya (karena berdesak-desakan) ketika
melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.”
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi,”Apakah kalian juga akan
mengalami bahaya (karena berdesak-desakan) ketika melihat matahari yang tanpa
diliputi oleh awan?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Maka Beliau
bersabda,”Sesungguhnya, begitu pula ketika kalian nanti melihat Rabb
kalian”…sampai akhir hadits. (Hadits yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam
Shahih-nya, no. 7437; Fathul Bari, XIII/419)
Shuhaib bin Sinan, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Beliau bersabda: Apabila penghuni surga telah masuk surga, Allah Tabaraka wa
Ta’ala berfirman,”Apakah kalian menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan?”
Mereka menjawab,”Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami putih
berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan
kami dari neraka?” Nabi bersabda,”Maka disingkapkanlah tabir penutup, sehingga
tidaklah mereka dianugerahi sesuatu yang lebih mereka senangi dibandingkan
anugerah melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.”) (HR. Muslim no. 181)
Shuhaib bin Sinan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
terkait firman Allah (QS. Yunus: 26), beliau bersabda, “Apabila penduduk surga
telah masuk surga, tiba-tiba datanglah seruan, ‘Sesungguhnya, kalian memiliki
janji di sisi Allah.’ Mereka mengatakan, ‘Bukankah Allah telah memutihkan wajah
kami, menyelamatkan kami dari neraka, dan memasukkan kami ke dalam surga?’
Penyeru itu mengatakan, ‘Betul.’ Kemudian, disingkaplah hijab (yang menutupi
wajah Allah). Demi Allah, tidak ada pemberian yang lebih mereka cintai melebihi
melihat wajah Allah.” (HR. At-Turmudzi, no. 2552; dinyatakan sahih oleh
Al-Albani)
Kata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, “Ini merupakan puncak
kerinduan pecinta surga dan bahan kompetisi mereka. Dan untuk hal ini
seharusnya orang-orang bekerja keras untuk mendapatkannya.”
b.
Melihat surga neraka
Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran : 133). Allah juga berfirman,
“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang
disediakan bagi orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah : 24).
Mengimani surga dan neraka adalah ciri ahli tauhid yang
Allah janjikan bagi mereka surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah
kecuali Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya, bersaksi bahwa ‘Isa adalah hamba dan utusan-Nya, dan kalimat-Nya
yang Ia berikan kepada Maryam, dan roh dari-Nya (roh dari roh-roh yang Allah
ciptakan), dan bersaksi bahwa surga itu benar adanya dan neraka benar adanya,
maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga seperti apapun amalannya” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Surga dan neraka adalah dua makhluk Allah yang kekal dan
sudah ada saat ini. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Surga dan
neraka adalah 2 makhluk yang tidak akan musnah” (Lum’atul I’tiqad karya Ibnu
Qudamah). Diantara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Balasan mereka di sisi
Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya” (QS. Al Bayyinah : 8).
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Surga dan neraka adalah 2
makhluk yang sudah ada saat ini. Ini adalah madzhab ahlus sunnah wal jama’ah”
(lihat At Ta’liqaat Al Mukhtasharah). Diantara dalil bahwa keduanya sudah ada
saat ini adalah hadits Abu Hurairah ketika rombongan Nabi beserta shahabatnya
mendengar suara benda jatuh, lalu Rasulullah bersabda, “Itu adalah suara batu
yang dilemparkan ke dalam neraka sejak 70 tahun yang lalu. Batu itu meluncur di
dalam neraka hingga akhirnya jatuh di dasarnya sekarang” (HR. Muslim). Hadits
ini adalah dalil tegas neraka sudah ada saat ini. Dan banyak lagi dalil yang
menunjukkan surga dan neraka sudah ada saat ini.
Dari kenikmatan surga yang sudah dipaparkan sebelumnya
terlihat sekilas bahwa kenikmatan tersebut adalah puncak kenikmatan. Akan
tetapi, ada ‘bonus istimewa’ bagi penduduk surga, dan inilah puncak kenikmatan
yang hakiki. Allah berfirman, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala
yang terbaik (surga) dan tambahannya” (QS. Yunus : 26). Nabi menafsirkan bahwa
“tambahan” di ayat ini adalah memandang wajah Allah Ta’ala. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka Allah menyingkap hijab (diri-Nya). Tidaklah
mereka (ahli surga) diberikan sesuatu yang lebih mereka cintai dibanding
memandang Rabb mereka ‘Azza wa Jalla” Lalu Nabi membaca ayat di atas (QS. Yunus
: 26)” (HR. Muslim). Ibnul Atsir berkata, “Melihat Allah adalah puncak
kenikmatan tertinggi di akhirat dan pemberian Allah yang paling istimewa.
Semoga Allah menyampaikan kita pada apa yang kita harapkan” (dinukil dari Al
Jannah wan Naar)
Mengimani surga dan neraka berarti membenarkan dengan pasti
akan keberadaan keduanya, dan meyakini bahwa keduanya merupakan makhluk yang
dikekalkan oleh Allah, tidak akan punah dan tidak akan binasa, dimasukkan ke
dalam surga segala bentuk kenikmatan dan ke dalam neraka segala bentuk siksa. Juga
mengimani bahwa surga dan neraka telah tercipta dan keduanya saat ini telah
disiapkan oleh Allah ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala mengenai surga
(yang artinya), “..yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS.
Ali Imran : 133), dan mengenai neraka (yang artinya), “..yang telah disediakan
untuk orang-orang yang kafir.”(QS. Ali Imran : 131).[A’lamus Sunnah Al
Mansyurah (hal. 134-135). Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahullah.
Tahqiq : Dr. Ahmad bin Ali ‘Alusyi Madkhali. Cetakan Maktabah Ar Rusyd.]
Oleh karena itulah, Al Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat
321 H) menyimpulkan dalam Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, “Surga dan neraka adalah
dua makhluq yang kekal, tak akan punah dan binasa. Sesungguhnya Allah telah
menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluq lain”[Bagaimana Cara Beragama
yang Benar? Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais. Terjemah : Muhammad Abduh
Tuasikal, ST. Pustaka Muslim.].
c.
Melihat Jin dan Malaikat
Hadist Nabi: “Apabila kamu mendengar ayam jago berkokok (di
waktu malam), mintalah anugerah kepada Allah, sesungguhnya ia melihat Malaikat.
Tapi apabila engkau mendengar keledai meringkik (di waktu malam), mintalah
perlindungan kepada Allah dari gangguan syaitan, sesungguhnya ia melihat
syaitan” (HR. Bukhari dengan Fathul Baari 6/350, Muslim 4/2092 no. 2729.
Tambahan yang terdapat dalam kurung diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul
Mufrad no 1236, lihat silsilah Adabul Mufrad no. 938 dan Silsilah Ahaadist
ash-Shahiihah no. 3183. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.)
“Jika kalian mendengar lolongan anjing dan ringkikan
keledai pada malam hari maka berlindunglah kepada Allah darinya karena ia
melihat apa yang tidak dapat kalian lihat.” (HR. Abu Dawud no. 5103, Ahmad
3/306, 355-356 Shahih al-Adabul Mufrad no. 937 serta Ibnu Sunni no. 311 dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar