“Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”.
Di masa Umar bin Al-Khaththab menjadi khalifah, beberapa pihak mencoba menguasai tanah. Caranya, begitu ada tanah kosong langsung diberi pagar. Sayangnya, setelah itu tanahnya dibiarkan mangkrak hingga bertahun-tahun. Padahal, ada pihak lain sangat membutuhkan. Mereka ingin menanami tanah nganggur itu untuk menyambung hidup. Tapi apa daya, tanah itu telah dikangkangi pihak lain.
Melihat praktek negatif tersebut Umar geram. Ia naik ke atas mimbar dan menyampaikan, ”Barang siapa menghidupkan lahan mati, maka lahan itu untuknya. Dan orang yang memagari tanah dengan batu bisa memperoleh hak setelah tiga tahun.”
Syariat Islam memberi izin bagi seseorang untuk memanfaatkan tanah yang belum menjadi kepemilikan pihak lain. Bahkan, ia kemudian berhak memiliki tanah tersebut. Inilah yang disebut dengan ihya` mawat.
Namun ada beberapa pihak yang berbeda pendapat dengan Umar. Mereka berpendapat, hanya dengan memagari lahan, tanpa memberdayakannya sudah termasuk ihya` mawat. Padahal, perilaku ini malah bertentangan dengan maksud dan tujuan ihya` mawat, yakni agar lahan-lahan tak bertuan itu bisa memberi manfaat kepada rakyat. Dan dengan memagari lahan tanpa mengelolanya, justru membuat lahan itu tidak memberikan manfaat. Sebab itulah, Umar perlu menjelaskan bahwa perilaku itu bukan tergolong ihya` al-mawat.
Para ulama mendefinisikan ihya` mawat sebagai aktivitas perawatan tanah mati dengan menanaminya atau menjadikannya siap untuk dibajak. Sedangkan al-mawat (tanah mati) merupakan tanah yang tidak dimiliki dan tidak dimanfaatkan oleh siapa pun. (lihat, Mughni Al-Muhtaj, 2/361)
Dasar atas legalnya kepemilikan tanah dengan ihya` mawat adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, ”Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya” (Riwayat At Tirmidzi dan beliau mensahihkannya)
Namun ada perbedaan ulama dalam masalah perizinan dengan pemerintah. Madzhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa ihya` mawat tetap sah, meski tanpa izin pemerintah. Sedangkan madzhab Hanafi mensyaratkan adanya izin dari pemerintah.
Islam dan Sumber Air
Air adalah sumber kehidupan. Islam mengatur pemakaian dan melindungi sumber-sumbernya. Juga mendorong pemeluknya menjaga kelestarian sungai.
Suatu saat Zubair berselisih dengan seorang laki-laki Anshor. Biang perselisihan itu adalah saluran irigasi di Al-Hurrah (wilayah Madinah yang bebatuannya berwarna hitam). Zubair menggunakan saluran irigasi tersebut untuk menyirami kebun kurmanya. Laki-laki Anshor itu minta Zubair menghentikan tindakannya, tetapi Zubair menolak. Hingga keduanya sepakat mengadukan masalah itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau pun menyampaikan kepada Zubair, ”Airi tanahmu kemudian alirkan air ke tanah tetanggamu!”
Laki-laki Anshar tersebut tidak menerimanya, hingga ia mangatakan, ”Sesungguhnya ia adalah anak dari bibimu wahai Rasulullah.”
Mendengar pernyataan itu, air muka Rasulullah SAW berubah. Tetapi keputusan beliau tidak berubah, ”Wahai Zubair, airi tanahmu hingga cukup!”
Dari kisah yang tercantum dalam Shahih Al-Bukhari tersebut, para fuqaha menyimpulkan bahwa penggunaan irigasi yang berasal dari sungai kecil dan air hujan dimulai dari lahan yang tertinggi lebih dahulu. Setelah tercukupi baru dialirkan ke lahan yang lebih rendah. Demikian seterusnya hingga air hilang meresap. (Al-Muhadzdzab, 1/328)
Lebih dari masalah irigasi, syariat Islam sendiri sebenarnya mengatur dengan cakupan yang lebih luas mengenai penggunaan sumber daya air.
Dalam hukum Islam, hak memanfaatkan air terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, hak untuk konsumsi manusia dan hewan ternak, serta kebutuhan rumah tangga (hak syafah). Kedua, hak penggunaan air untuk pangairan lahan (hak as syurb).
Klasifikasi Hak Berkaitan dengan Air
1. Air di Wadah
Air yang telah ditampung di wadah atau yang disalurkan ke pipa-pipa, kepemilikannya berada di bawah siapa saja yang mengumpulkan dan menyalurkannya. Tidak boleh seorang pun memanfaatkannya, sebelum memperoleh izin dari pemiliknya. Dan pemiliknya juga berhak untuk menjual atau menggunakannya untuk apa saja. (lihat, Al-Muhadzdzab, 1/427)
Para ulama mengkiaskan hukum air ini dengan hukum kayu ranting yang diambil dari alam bebas. Kepemilikannya ada pada siapa yang mengumpulkannya.
2. Air Sumur
Sedangkan bagi air sumur yang digali, baik di tanah mati dalam rangka ihya’ mawat atau di tanah pemiliknya juga akan menjadi milik penggalinya, demikian menurut madzhab As-Syafi’i.
Hal ini dikiaskan dengan kepemilikan buah dan pohon yang tumbuh di tanah pemiliknya. Namun, meskipun berada dalam kepemilikan individu, dilarang bagi pemiliknya malarang orang lain menggunakan air itu untuk dikonsumsi, baik oleh dirinya maupun binatang ternaknya (hak syafah). Hal ini merujuk kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Janganlah kalian melarang kelebihan air…” (Riwayat Al-Bukhari)
Namun, orang lain tidak memiliki hak untuk mengairi lahan (hak syurb) dari sumur itu, kecuali atas izin pemiliknya.
3. Air dari Parit Milik Pribadi
Sedangkan status air yang mengalir di parit yang berada di bawah kepemilikan seseorang, sama dengan status sumur di atas. Orang lain memiliki hak syafah (untuk dikonsumsi) terhadapnya dan bukan hak syurb (pengairan). Bagi madzhab Imam As-Syafi’i, pemiliknya juga bisa menjual hak syurb atas parit itu, namun dengan syarat berdasarkan timbangan atau takaran hingga jumlahnya bisa terukur. (Nahayah Al-Muhtaj, 3/257)
Hak Al-Majra
Syariat, disamping melindungi adanya hak syurb dan hak syafah, juga hak seseorang untuk mengalirkan air ke tanahnya yang jauh dari saluran irigasi. Dan tetanggnya tidak berhak melarangnya, sekalipun melewati lahannya (hak majra).
Hal itu merujuk kepada keputusan Umar bin Al-Khaththab setelah Ad-Dhahak bin Khalifah mengadu kepada beliau, karena hendak mengalirkan air ke kebunnya melalui tanah Muhammad bin Maslamah. Umar berkata kepada Ibnu Maslamah, ”Demi Allah, ia (Ad-Dhahak) agar mengalirkan air itu, walau di atas perutmu.” (Riwayat Malik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar