Pengertian syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, berasal dari kata شكر-يشكر-شكرا‘’ yang berarti berterima kasih kepada atau dari kata lain ‘’ شكر‘’ yang berati pujian atau ucapan terima kasih atau peryataan terima kasih[i]. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia syukur memiliki dua arti yang pertama, syukur berarti rasa berterima kasih kepada Allah dan yang kedua, syukur berarti untunglah atau merasa lega atau senang dll
Syukur adalah salah satu sifat yang merupakan hasil refleksi dari sikap tawakal. Secara bahasa, syukur mengandung arti “sesuatu yang menunjukan kebaikan dan penyebarannya”. Sedangkan secara syar’i, pengertian syukur adalah “memberikan pujian kepada yang memberikan segala bentuk kenikmatan (Allah swt) dengan cara melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, dalam pengertian tunduk dan berserah diri hanya kepada-Nya”
Menurut Ibnu Faris bahwa kata syukur memiliki empat makna dasar. Pertama, pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh, yakni merasa ridha dan puas sekalipun hanya sedikit, di dalam hal ini para pakar bahasa menggunakan kata syukur untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Kedua, kepenuhan dan ketabahan, seperti pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat شَكَرَةُ الشَّجَرَة (syakarat asy-syajarah). Ketiga, sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit). Keempat, pernikahan atau alat kelamin.
Al-Asfahani menyatakan bahwa kata syukur mengandung arti ‘gambaran di dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan’. Pengertian ini diambil dari asal kata syukur (شُكُوْر) --seperti dikemukakan di atas-- yakni kata syakara (شَكَرَ), yang berarti ‘membuka’ sehingga ia merupakan lawan dari kata kafara/kufur (كَفَرَ\كُفُوْر), yang berarti ‘menutup’, atau ‘melupakan nikmat dan menutup-nutupinya’. Jadi, membuka atau menampakkan nikmat Allah antara lain di dalam bentuk memberi sebahagian dari nikmat itu kepada orang lain, sedangkan menutupinya adalah dengan bersifat kikir.
Kata syukur (شُكُوْر) di dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 75 kali tersebar di dalam berbagai ayat dan surat di dalam Alquran. Kata syukuran (شُكُوْرًا) sendiri disebutakan hanya dua kali, yakni pada S. Al-Furqan (25): 62 dan S. Al-Insan (76): 9.
Sedangkan Qana’ah menurut arti bahasanya adalah merasa cukup. Dan secara istilah qana’ah merasa cukup atas apa yang dimilikinya. Sikap qana’ah didefinisikan sebagai sikap merasa cukup dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT.
Qana’ah mempunyai ikatan erat dengan syukur. Keduanya, seperti dua sisi mata uang yang tidak mungkin berpisah. Syukur membuahkan qana’ah. Dan qana’ah memunculkan syukur. Seperti itu korelasinya. Tidak ada qana’ah tanpa syukur. Tidak ada syukur tanpa qana’ah. Syukur tanda kita menikmati keadaan yang mungkin kurang. Qana’ah buah kesyukuran yang membuat kita tenang. Batin yang tenang karena menerima keadaan, kondisi hati yang stabil karena tidak dibenturkan harapan yang tidak tercapai, keadaan jiwa yang menyenangkan karena tidak mengeluh dan menggugat keadaan yang tidak sesuai keinginan. Itulah keberkahan yang Allah berikan.
Syukur dan Qana’ah adalah dua sikap yang tak mungkin dipisah. Orang yang qana’ah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qana’ah dan syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.
Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qana’ah tidak berarti menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang yang hidup qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan.
Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah melalaikan dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qana’ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya.
Ibrahim bin Adham, seorang sufi dari Khurasan berkata dalam do’anya “Ya Allah, jadikan aku orang yang ridha dengan keputusan-Mu. Jadikan aku orang yang sabar menghadapi cobaan dari-Mu dan karuniailah aku rasa syukur atas berkah-Mu”.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Makhluk ini tidak mau mensyukuri ni’mat karena pada ada dua yaitu kejahilan dan kelalaian. Kedua sifat ini menghalangi mereka untuk mengetahui ni’mat. Karena tidak tergambar bahwa seseorang akan bisa bersyukur tanpa mengetahui ni’mat . Jika pun mereka mengetahui ni’mat mereka menyangka bahwa bersyukur itu hanya sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dengan lisan. Mereka tidak mengetahui bahwa makna syukur adalah mempergunakan ni’mat pada jalan ketaatan kepada Allah ta’alaa.”
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Hati yang hidup akan menggali segala macam ni’mat diberikan. Adapun hati yangg jahil tidak akan menganggap sebuah ni’mat sebagai ni’mat kecuali setelah bala’ menimpanya. Cara hendaklah dia terus memandang kepada yang lebih rendah dari dan berusaha berbuat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Mendatangi tempat orang yang sedang sakit dan melihat berbagai macam ujian yang sedang menimpa mereka kemudian berpikir tentang ni’mat sehat dan keselamatan. Menyaksikan jenazah orang yang terbunuh dipotong tangan mereka kaki-kaki mereka dan diazab lalu dia bersyukur atas keselamatan diri dari berbagai azab.”
(http://blog.re.or.id/nikmat-allah-syukurilah-dan-ujian-nya-sabarilah.htm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar