Selasa, 24 April 2012

Larangan Dalam Suluk (1) : Kemaksiyatan


Kemaksiyatan
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. Asy-Syura`: 30)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari perbuatan dosa adalah hilangnya nikmat, dan akibat dosa adalah datangnya bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula, datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al-Jawabul Kafi, hlm. 87)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidaklah suatu kejelekan (kerusakan) disandarkan pada sebuah hal melainkan pada disandarkan pada dosa karena semua musibah disebabkan oleh dosa.” (Latha’if Al-Ma’arif, hlm. 75)
Umar bin Abdul Aziz mewanti-wanti penasihatnya, Maimun bin Mahran, agar tidak berdua-duaan dengan wanita meskipun dengan alasan mengajarkan Alquran, “Aku memberi wasiat kepadamu dengan wasiat yang harus kau jaga. Janganlah engkau berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahrammu, walau batinmu berkata bahwa kau akan mengajarinya Alquran.” (Lihat kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, V:272)
Adapun berbagai kemaksiatan dan dosa mendatangkan kemarahan Allah ‘Azza wa Jalla. Apabila Allah marah terhadap hamba-Nya, maka si hamba tersebut akan celaka di dunia dan di akhirat. Sebagaimana amalan-amalan ketaatan itu mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila Allah meridhai hamba-Nya maka si hamba tersebut akan bahagia di dunia dan di akhirat. Orang yang bermaksiat mencelakakan dirinya dan orang lain. Sesungguhnya dia tidak akan bisa aman dari turunnya adzab atasnya, dan akan merata mengenai manusia lainnya. Terutama apabila tidak ada yang mengingkari perbuatannya. Maka menjauh darinya merupakan suatu keharusan.
Demikian juga tempat-tempat kemaksiatan, harus menjauh darinya dan lari menghindari darinya, karena khawatir akan turunnya adzab. Sebagaimana Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada para shahabatnya ketika beliau melewati negeri kaum Tsamud di daerah Al-Hijr, “Jangan kalian masuk ke (negeri) mereka (Tsamud) yang telah diadzab, kecuali dalam keadaan kalian menangis karena khawatir akan menimpa kalian adzab yang telah menimpa mereka.”) Beliau menghindar dari tempat-tempat kemaksiatan.
‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Kami bersama Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam melewati daerah Al-Hijr (negeri Kaum Tsamud), maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada kami : “Janganlah kalian masuk ke tempat-tempat tinggal orang-orang yang telah menzhalimi diri mereka sendiri, kecuali kalian dalam keadaan menangis karena khawatir kalian tertimpa adzab yang telah menimpa mereka.” Kemudian beliau menghela (ontanya) maka ia pun berjalan cepat sampai beliau berlalu meninggalkannya. [HR. Muslim 2908]
Tak ada satu negeri pun (yang penduduknya atau kami azab dengan azab yang sangat keras (Al-Isra’ [17]: 48)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Sumber segala bentuk kemaksiatan yang besar ataupun yang kecil ada tiga: ketergantungan hati kepada selain Allah, memperturutkan kekuatan angkara murka, dan mengumbar kekuatan nafsu syahwat. Wujudnya adalah syirik, kezaliman, dan perbuatan-perbuatan keji. Puncak ketergantungan hati kepada selain Allah adalah kemusyrikan dan menyeru sesembahan lain sebagai sekutu bagi Allah. Puncak memperturutkan kekuatan angkara murka adalah terjadinya pembunuhan. Adapun puncak mengumbar kekuatan nafsu syahwat adalah terjadinya perzinaan.
Oleh sebab itu Allah subhanahu memadukan ketiganya dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak menyeru bersama Allah sesembahan yang lain, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali apabila ada alasan yang benar, dan mereka juga tidak berzina.” (QS. al-Furqan: 68). Ketiga jenis dosa ini saling menyeret satu dengan yang lainnya. Syirik akan menyeret kepada kezaliman dan perbuatan keji, sebagimana halnya keikhlasan dan tauhid akan menyingkirkan kedua hal itu dari pemiliknya (ahli tauhid). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah, Kami palingkan darinya -Yusuf- keburukan dan perbuatan keji, sesungguhnya dia termasuk kalangan hamba pilihan Kami (yang ikhlas).” (QS. Yusuf: 24)
Yang dimaksud dengan ‘keburukan’ (as-Suu’) di dalam ayat tadi adalah kerinduan (‘isyq), sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan keji (al-fakhsya’) adalah perzinaan. Maka demikian pula kezaliman akan bisa menyeret kepada perbuatan syirik dan perbuatan keji. Sesungguhnya syirik itu sendiri merupakan kezaliman yang paling zalim, sebagaimana keadilan yang paling adil adalah tauhid. Keadilan merupakan pendamping bagi tauhid, sementara kezaliman merupakan pendamping syirik.
Oleh sebab itulah, Allah subhanahu memadukan kedua hal itu. Adapun yang pertama -keadilan sebagai pendamping tauhid- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, demikian juga bersaksi para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dalam rangka menegakkan keadilan.” (QS. Ali Imran: 18). Adapun yang kedua -kezalimaan sebagai pendamping syirik- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya syirik merupakan kezaliman yang sungguh-sungguh besar.” (QS. Luqman: 13). Sementara itu, perbuatan keji pun bisa menyeret ke dalam perbuatan syirik dan kezaliman. Terlebih lagi apabila keinginan untuk melakukannya sangat kuat dan hal itu tidak bisa didapatkan selain dengan menempuh tindakan zalim serta meminta bantuan sihir dan setan.
Allah subhanahu pun telah memadukan antara zina dan syirik di dalam firman-Nya (yang artinya), “Seorang lelaki pezina tidak akan menikah kecuali dengan perempuan pezina pula atau perempuan musyrik. Demikian juga seorang perempuan pezina tidak akan menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur: 3). Ketiga perkara ini saling menyeret satu dengan yang lainnya dan saling mengajak satu sama lain. Oleh sebab itu, setiap kali melemah tauhid dan menguat syirik pada hati seseorang maka semakin banyak  perbuatan keji yang dilakukannya, kemudian semakin besar pula ketergantungan hatinya kepada gambar-gambar -yang terlarang- serta semakin kuat pula kerinduan yang menggelayuti hatinya terhadap gambar/rupa tersebut… (al-Fawa’id, hal. 78-79)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar