Kemaksiyatan
“Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
(Q.s. Asy-Syura`: 30)
Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari perbuatan dosa
adalah hilangnya nikmat, dan akibat dosa adalah datangnya bencana (musibah).
Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa.
Begitu pula, datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al-Jawabul
Kafi, hlm. 87)
Ibnu Rajab
Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidaklah suatu kejelekan (kerusakan)
disandarkan pada sebuah hal melainkan pada disandarkan pada dosa karena semua
musibah disebabkan oleh dosa.” (Latha’if Al-Ma’arif, hlm. 75)
Umar bin
Abdul Aziz mewanti-wanti penasihatnya, Maimun bin Mahran, agar tidak
berdua-duaan dengan wanita meskipun dengan alasan mengajarkan Alquran, “Aku
memberi wasiat kepadamu dengan wasiat yang harus kau jaga. Janganlah engkau
berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahrammu, walau batinmu berkata bahwa kau
akan mengajarinya Alquran.” (Lihat kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul
Ashfiya’, V:272)
Adapun berbagai kemaksiatan dan dosa
mendatangkan kemarahan Allah ‘Azza wa Jalla. Apabila Allah marah terhadap
hamba-Nya, maka si hamba tersebut akan celaka di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana amalan-amalan ketaatan itu mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Apabila Allah meridhai hamba-Nya maka si hamba tersebut akan bahagia
di dunia dan di akhirat. Orang yang bermaksiat mencelakakan dirinya dan orang
lain. Sesungguhnya dia tidak akan bisa aman dari turunnya adzab atasnya, dan
akan merata mengenai manusia lainnya. Terutama apabila tidak ada yang mengingkari
perbuatannya. Maka menjauh darinya merupakan suatu keharusan.
Demikian juga tempat-tempat kemaksiatan,
harus menjauh darinya dan lari menghindari darinya, karena khawatir akan
turunnya adzab. Sebagaimana Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada para
shahabatnya ketika beliau melewati negeri kaum Tsamud di daerah Al-Hijr,
“Jangan kalian masuk ke (negeri) mereka (Tsamud) yang telah diadzab, kecuali
dalam keadaan kalian menangis karena khawatir akan menimpa kalian adzab yang
telah menimpa mereka.”) Beliau menghindar dari tempat-tempat kemaksiatan.
‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Kami bersama
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam melewati daerah Al-Hijr (negeri Kaum
Tsamud), maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada kami :
“Janganlah kalian masuk ke tempat-tempat tinggal orang-orang yang telah
menzhalimi diri mereka sendiri, kecuali kalian dalam keadaan menangis karena
khawatir kalian tertimpa adzab yang telah menimpa mereka.” Kemudian beliau
menghela (ontanya) maka ia pun berjalan cepat sampai beliau berlalu
meninggalkannya. [HR. Muslim 2908]
Tak ada satu negeri pun (yang penduduknya
atau kami azab dengan azab yang sangat keras (Al-Isra’ [17]: 48)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Sumber
segala bentuk kemaksiatan yang besar ataupun yang kecil ada tiga:
ketergantungan hati kepada selain Allah, memperturutkan kekuatan angkara murka,
dan mengumbar kekuatan nafsu syahwat. Wujudnya adalah syirik, kezaliman, dan
perbuatan-perbuatan keji. Puncak ketergantungan hati kepada selain Allah adalah
kemusyrikan dan menyeru sesembahan lain sebagai sekutu bagi Allah. Puncak
memperturutkan kekuatan angkara murka adalah terjadinya pembunuhan. Adapun
puncak mengumbar kekuatan nafsu syahwat adalah terjadinya perzinaan.
Oleh sebab itu Allah subhanahu memadukan
ketiganya dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak menyeru
bersama Allah sesembahan yang lain, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali apabila ada alasan yang benar, dan mereka juga tidak berzina.”
(QS. al-Furqan: 68). Ketiga jenis dosa ini saling menyeret satu dengan yang
lainnya. Syirik akan menyeret kepada kezaliman dan perbuatan keji, sebagimana
halnya keikhlasan dan tauhid akan menyingkirkan kedua hal itu dari pemiliknya
(ahli tauhid). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah, Kami
palingkan darinya -Yusuf- keburukan dan perbuatan keji, sesungguhnya dia
termasuk kalangan hamba pilihan Kami (yang ikhlas).” (QS. Yusuf: 24)
Yang dimaksud dengan ‘keburukan’ (as-Suu’)
di dalam ayat tadi adalah kerinduan (‘isyq), sedangkan yang dimaksud dengan
perbuatan keji (al-fakhsya’) adalah perzinaan. Maka demikian pula kezaliman
akan bisa menyeret kepada perbuatan syirik dan perbuatan keji. Sesungguhnya
syirik itu sendiri merupakan kezaliman yang paling zalim, sebagaimana keadilan
yang paling adil adalah tauhid. Keadilan merupakan pendamping bagi tauhid,
sementara kezaliman merupakan pendamping syirik.
Oleh sebab itulah, Allah subhanahu
memadukan kedua hal itu. Adapun yang pertama -keadilan sebagai pendamping
tauhid- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya),
“Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, demikian
juga bersaksi para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dalam rangka
menegakkan keadilan.” (QS. Ali Imran: 18). Adapun yang kedua -kezalimaan
sebagai pendamping syirik- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah
(yang artinya), “Sesungguhnya syirik merupakan kezaliman yang sungguh-sungguh
besar.” (QS. Luqman: 13). Sementara itu, perbuatan keji pun bisa menyeret ke
dalam perbuatan syirik dan kezaliman. Terlebih lagi apabila keinginan untuk
melakukannya sangat kuat dan hal itu tidak bisa didapatkan selain dengan
menempuh tindakan zalim serta meminta bantuan sihir dan setan.
Allah subhanahu pun telah memadukan antara
zina dan syirik di dalam firman-Nya (yang artinya), “Seorang lelaki pezina
tidak akan menikah kecuali dengan perempuan pezina pula atau perempuan musyrik.
Demikian juga seorang perempuan pezina tidak akan menikah kecuali dengan lelaki
pezina atau lelaki musyrik. Dan hal itu diharamkan bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. an-Nur: 3). Ketiga perkara ini saling menyeret satu dengan yang
lainnya dan saling mengajak satu sama lain. Oleh sebab itu, setiap kali melemah
tauhid dan menguat syirik pada hati seseorang maka semakin banyak perbuatan keji yang dilakukannya, kemudian
semakin besar pula ketergantungan hatinya kepada gambar-gambar -yang terlarang-
serta semakin kuat pula kerinduan yang menggelayuti hatinya terhadap gambar/rupa
tersebut… (al-Fawa’id, hal. 78-79)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar